BANGLI, BALI, MEDIAPOLRINEWS – Misteri di balik pembangunan ilegal di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Kedisan, Kintamani, semakin pekat. Setelah Desa Adat Kedisan mengancam akan membawa kasus ini ke ranah hukum, kini sorotan tertuju pada sosok pemilik bangunan, I KO S, yang memilih bungkam saat dikonfirmasi oleh awak media. Kamis, (09/10/2025).
Sikap I K O S yang enggan memberikan keterangan justru menimbulkan spekulasi dan pertanyaan besar. Apa yang disembunyikan? Apakah ada pihak-pihak berpengaruh yang melindunginya sehingga berani membangun tanpa izin di kawasan konservasi?
“Kami sudah berupaya mengkonfirmasi kepada yang bersangkutan melalui pesan WhatsApp, namun tidak ada respons sama sekali,” ungkap salah seorang awak media yang melakukan investigasi di lapangan.
Sementara itu, kemarahan Desa Adat Kedisan semakin membara. Mereka menuntut ketegasan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bali dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bangli untuk segera mengambil tindakan nyata terhadap bangunan yang dianggap ilegal tersebut.

“Kami tidak akan tinggal diam. Jika BKSDA dan Satpol PP terus mengulur-ulur waktu, kami siap melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri Bangli,” tegas Bendesa Adat Kedisan, I Nyoman Lama Antara.
Lama Antara menegaskan bahwa Desa Adat Kedisan tidak ingin TWA Kedisan dirusak oleh pembangunan yang tidak bertanggung jawab. Ia juga menyoroti dugaan pembabatan hutan lindung yang dilakukan oleh Oka Sarimerta, yang berpotensi melanggar UU No. 18 Tahun 2013 dan UU No. 32 Tahun 2009.
“Kami meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini dan menindak tegas siapa pun yang terlibat, termasuk jika ada oknum yang membekingi,” tandasnya.
Kepala DPM PTSP Bangli, Jetet Hiberon, sebelumnya telah mengatakan bahwa pihaknya telah menghentikan sementara pembangunan tersebut karena melanggar ketentuan PP 16/2021. Namun, kewenangan terkait izin dan penindakan lebih lanjut berada di tangan BKSDA Provinsi Bali.
Kasus ini semakin memanaskan situasi di TWA Kedisan dan menjadi ujian berat bagi aparat penegak hukum serta pemerintah daerah. Masyarakat menunggu bukti nyata bahwa hukum masih berlaku dan tidak ada tempat bagi para perusak lingkungan di Bumi Dewata.
(Jro’budi)
