Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki #save TIM

JAKARTA, MEDIAPOLRINEWS.com

PADA CIKINI RAYA 73
Karya: Tatan Daniel
Pada Cikini Raya tujuh tiga,
salammu telah kusampaikan.
Kubilang, kau tidak bisa datang karena encokmu kumat dan batuk kambuhan.
Itulah salam paling berat yang pernah kusampaikan. Tidak mudah, tersebab persahabatan kalian begitu karib.
Serupa daun pada ranting, serupa kayu bakar pada tungku api.

Bertahun-tahun kalian bersama, sampai sebatang pohon hayat yang perkasa itu kering dan sekarat, dan ruang terbuka tempat kalian ketika masih berambut gondrong bagai Jesus, membaca sajak berapi-api seakan berkhotbah di atas bukit,
diruntuhkan menjadi abu.

Pada Cikini Raya tujuh tiga,
sudah kusampaikan salammu.
Semacam ‘salam terakhir’ yang pernah dinyanyikan The Rollies dulu, ditempat itu ketika hujan gerimis, dan semangat ‘flower generation’, mengepul bersama asap ganja yang disedot sampai kempot,
lantaran protes pada dunia.

Pada Cikini Raya tujuh tiga,
kumohonkan maaf atas namamu,
kalian yang pernah duduk begadang,
menenggak bir dan kopi bergalang-galang,
membahas teater mini kata, pukau mantera,
puisi ‘mbeling, dan kematian Huriah Adam,
menempelkan puluhan poster aneka kata,
mengecam Asrul Sani sang Ketua Dewan Kesenian Jakarta, mengenangkan Amir Hamzah dengan berzikir panjang di masjidnya, berusaha memahami Slamet Abdul Sjukur memainkan musik gilanya. Tersulut oleh Yudhis yang berontak: “Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin. Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin..”
Juga terbakar oleh Semsar yang menggali kuburan Marsinah, dan berseru melawan… ketika bom menghina mimbar Rendra.

Pada Cikini Raya tujuh tiga,
sudah kusampaikan salammu mewakili ratusan, atau ribuan seniman yang pernah datang dan pergi, dan tidur, dan kencing, dan berak di haribaannya, karena lelah mengembara menyatroni semesta kesenian, yang kadang wangi kadang berbau busuk. Terjerumus di jalan takdir berkesenian yang tak henti menikung, mendaki, gelap, dengan
seratus penyamun siap menyergap.

Mungkin ada sepotong mimpimu masih tersisa di sana, seperti tato bergambar malaikat Jibril yang dilukis oleh Danarto entah di tembok mana, entah di panggung yang mana.
Mimpi yang seperti nyawa anak burung yang ditinggalkan induknya, tersengal, satu-satu, lembut dan mengharukan. Mimpi yang dipanggang matahari Jakarta, dan hujan yang bercampur asam dan debu, yang sebagian mengotori lukisan
“Presiden Tahun 2001”, yang menantang Soeharto itu.

Pada Cikini Raya tujuh tiga,
kusampaikan permohonan maaf,
seperti kata-kata yang meluap, berderai-derai, melimpah, mirip muntahan pemabok jalanan, bagai tujuh naskah monolog yang kuberondongkan, bagai serentengan puisi “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”, bagai pelor senapan gerilyawan bawah tanah yang kesepian, mewakili riwayat para seniman yang anumerta, yang kalah, yang berdiam teronggok di gorong-gorong pikiran.

Apa boleh buat. Haram jadah!
Kita harus menggadaikan semua yang tercatat dan tidak tercatat.
Menggadaikan seluruh kata, dan suara, dan warna, dan gerak, dan kredo, dan mukaddimah, dan martabat.
Ada waktu untuk tegak perkasa, kini tiba waktu untuk tiarap, dengan tanah dan batu menggumpal di mulut dan lidah. Dengan bibir mengucur darah. Tak lagi bisa teriak: “Pukimak!”

Paling-paling kita cuma bisa bilang,
seperti kata Chairil:
“Berjagalah terus, di garis batas, pernyataan, dan impian!”

saveTIM #poeticresistance

(REL)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *